Selasa, 01 April 2014

[CERPEN] Dinding Pembatas


 

   Hanya beralaskan lantai kuterduduk santai bersandar pada dinding dan mencoba melepaskan rasa lelah dan penat sebab seharian menghabiskan waktu dengan kuliah, sambil melihat sinar matahari senja mewarnai kota dengan warna indahnya. Ah, sungguh indah sinarmu, Wahai mentari senja.

   Secangkir kopi hitam yang hampir habis dan sebungkus rokok yang baru kubeli sepulang kuliah tadi dengan setia menemaniku. Memandangi langit sore yang penuh dengan warna dari mentari senja sambil melepas lelah itu telah menjadi rutinitasku setiap hari. Kukeraskan volume musik dari handphoneku supaya sore ini menjadi lebih indah.

   "Besok aku harus pergi ke taman kota untuk hunting foto di sana dan menyelesaikan tugas mata kuliah fotografiku. Kalau tidak, Dosen yang seperti zombie itu akan melahapku dan hanya meninggalkan kepalaku untuk menjadi pajangan dinding di rumahnya." ucapku dalam batin.

Kampus

   Waktu telah menunjukan pukul 15:35 WIB. Kumatikan dan menutup laptopku yang sejak daritadi sibuk kugunakan untuk searching tentang kamera dan lensa, lalu berjalan menuju parkiran kampus sekadar untuk mengambil motor yang setia menemaniku kemana-mana.

   Kurogoh-rogoh kantung kanan celana jeansku untuk mencari kunci motor, lalu menghidupkan motor. Tak lupa kuberdoa pada Allah agar selamat sampai tujuan.

  Apa susahnya memohon perlindungan pada Tuhan yang telah memberikan segala yang kita butuhkan selama ini.

   Kutarik gas motorku, lalu pergi meninggalkan kampus ini. Tikungan demi tikungan, kelokan demi kelokan, mobil demi mobil kusalip dan kueksekusi dengan rapih. Hanya butuh waktu kurang-lebih lima belas menit untuk sampai ke taman kota.


Taman Kota

  Kehadiranku langsung disambut oleh pepohonan rindang yang dengan kompak menari-nari terbawa hembusan angin. Syukurlah, taman kota sore ini sedang sepi, jadi, aku bisa dengan leluasa menyusuri setiap sudut taman ini dan memotret apa yang menarik dengan kameraku.

   Objek pertama yang kuingin potret adalah bunga. Bunga di taman ini cantik-cantik sekali rona warnanya. Kubuka tasku dan mengambil kamera serta memasangkan lensanya. Tak lupa aku mengatur tata cahaya, iso, mode serta lain-lainnya agar gambar yang dihasilkan dapat bagus semaksimal mungkin.

   Beberapa menit memburu bunga, aku merasa bosan. Aku ingin mengganti objek sasaran kameraku. Oke, kuputuskan manusia untuk menjadi targetnya.

   Aku duduk di bangku taman yang di sampingnya terdapat sepasang tempat sampah, lalu aku tertawa kecil, "Mas, tempat sampah aja double, masa kamu single." aku meledek diriku sendiri.

   Kulihat keadaan sekelilingku, apakah ada yang menarik untuk aku jepret atau tidak. Tak jauh dari tempatku duduk sekarang, ternyata ada sepasang insan yang sedang memadu kasih. Lelaki itu menyanyikan sebuah lirik lagu dengan iringan gitar untuk perempuan di sampingnya yang sudah kuyakini ia sebagai kekasihnya. Langsung saja aku membingkai kemesraan mereka berdua dengan kameraku.

   "Dulu kita pernah seperti itu juga, lho." lagi-lagi aku berbicara sendiri sambil memandangi hasil jepretan pada layar kamera.

   Cepat-cepat kulemparkan pandanganku pada sisi yang lain sebelum aku merasa iri dengan mereka. Ah, tapi buat apa merasa iri? Toh, Tuhan telah mengatur semuanya.

   Mataku tertuju pada anak kecil yang berjalan sendirian di rumput taman, lalu terjatuh karena terbelit tali sepatu yang tak terikat sempurna. Tak lama, seorang perempuan datang dan mengikatkan tali sepatu anak itu. Dengan sigap, langsung kuarahkan kameraku, dan "jeprettt".

    Kupandangi hasil foto tadi dan beberapa saat aku terdiam.
    "Yaaa, Tuhannnn.. Cantik sekali perempuan itu." kataku sambil menatap layar kamera.

   Raut wajah cantik mempesona, rambut lurus hitam pekat dan terurai panjang, badan yang tinggi semampai. Siapa yang tak jatuh hati melihatnya?

  Tak inginku kehilangan momen berharga ini, lalu membidik dirinya dengan kameraku lagi. Tak sia-sia, beberapa foto candid dirinya berhasil tersimpan dalam kameraku.

   Saking asiknya membidik perempuan itu, aku tak sadar jika dirinya menyadari kalau dia sedang menjadi objek fotoku.

   Dia menghampiriku, aku salah tingkah dibuatnya.

   "Cakep nggak hasilnya? Hahahaha." tanyanya mendadak.
   "Ca... Ca... Cakep, kok. Hehehe" jawabku terbata-bata.

   Dia berjalan pergi meninggalkanku ketika jantungku masih berdetak cepat dibuatnya.

   Aku berdiri dan mengejarnya, memberanikan diri untuk berkenalan dengannya.

   "Mmm.. Mbak, maaf, boleh kenalan nggak?"
   "Mau banget, apa mau aja?"
   "Mau banget deh. Hahaha. Namaku Dimas, maaf kalo tadi aku lancang memfotomu tanpa ijin dulu."

   Kami menghentikan langkah kaki, lalu aku menjulurkan tangan, berharap agar perempuan itu menyambutnya.

   "Iya, nggak apa-apa, kok. Aku juga seneng fotografi soalnya. Hehehe. Oh iya, namaku Jessica Arleta." sambil menyambut hangat uluran tanganku.

   "Kamu sibuk, nggak? Kita ngobrol-ngobrol dulu yuk, sambil cari minum."
   "Aduh, gimana ya, aku harus ke kampusku lagi nih, ada urusan penting. Maaf, ya."

   Dia mengeluarkan pulpen dari dalam tasnya, lalu meminta tanganku.

   "Pinjem tangan kamu, deh."
   Ia mulai menulis beberapa angka yang sudah pasti itu nomer handphonenya.

   Kutatapi wajahnya yang cantik, yang sedang serius mencoret-coret telapak tanganku.

   "Hubungin itu saja, ya. See you." ia melontarkan senyum manisnya dan berjalan cepat meninggalkanku.

   Aku tak bisa berkata-kata, apakah ini mimpi? Tidak! Ini nyata.


Kost-ku

   Setelah membuat kopi dan mengambil sebatang rokok dari bungkusnya, aku menyalakan laptop dan mengedit hasil hunting tadi. Aku mencari foto bidadari tadi. Ya, Jessica Arleta, perempuan yang dapat membuatku mati suri sejenak, karna rohku seperti melayang dan meninggalkan jasadnya.
Cantiknya.....

   Aku memberanikan diri untuk mengiriminya pesan singkat dan mendapat balasan darinya. Sepanjang malam aku dan Arleta saling berbalas pesan singkat. Aku mengajaknya untuk bertemu besok di taman kota.


Taman Kota

   Kuputar-putar mata lensa untuk mendapat fokus yang tepat ketika membidik seekor burung gereja yang kudapati sedang hinggap di dahan pohon.

   "Arleta kemana, ya, kok belum datang juga?" kataku sambil melihat jam di tangan yang menunjukan pukul 10:15 WIB.

   "Hey! Nungguin, ya? Hahaha. Maaf, aku telat, agak macet soalnya." kata Arleta sambil menepuk pundakku dari belakang.
   "Hmmm, iya nggak apa-apa. Hehe. Kita cari tempat, yuk! Mau kamu di mana?"
   "Di mana aja boleh, kok."
   "Pinggir jalan, mau?"
   "Kan aku udah bilang, aku mau di mana aja."

   Tak kusangka, Arleta yang kukira tak mau makan di pinggir jalan, ternyata mau. Jarang banget nih, ada cewek yang cantik, tampilan high class, tapi mau makan di pinggir jalan.
   Wanita idaman!

   Kami duduk di warung makan pinggir jalan dan memesan makanan. Kami mengobrol seputar fotografi dan kuliah. Ternyata, Arleta suka dengan dunia modeling. Jelas saja, dia cantik, tinggi, bersih dan memiliki senyum yang sangat menawan.

   Tapi, yang paling terpenting adalah: dia masih single, serupa denganku.
 
***

   Sudah sekitar dua minggu kami saling mengenal satu dengan lain. Seiring berjalannya waktu, benih cinta terus tumbuh di antara kami berdua. Tapi, ada satu masalah yang terus terpikirkan olehku.

   Kami berbeda.

   Iya, kami berbeda keyakinan. Aku seorang Muslim dan Arleta umat Kristiani. Kami saling mencintai satu sama lain, semua itu terlihat dari sikap Arleta yang sering datang ke kost-ku mengantarkan makanan untukku dan sering menemaniku hunting foto.

   Cinta memang buta, cinta tak lagi memandang apapun, termasuk; agama.

   Tuhan memang satu, namun, ada pembatas yang membedakan kita pada dua sisi. Ajaran agama kita tetap sama, masing-masing agama kita mengajarkan untuk selalu berbuat kebaikan pada setiap umat manusia.

   Kami saling mencintai, saling menyayangi, dan kami tetap akan menyatu.

   Setelah kupikirkan matang-matang, aku memberanikan diri untuk mengajak Arleta menjadi bagian dari hidupku, memberanikan diri untuk melawan perbedaan, dan Arleta bersedia untuk menjadi kekasihku.

   Terimakasih, Arleta.


***

   Kurang-lebih empat bulan telah kami lalui bersama hubungan ini, diselipi dengan canda, tawa, isak tangis dan segalanya yang menjadi penghias dalam hubungan kami.

Kost-ku

   "Besok Ayah ingin bertemu denganmu." ucap Arleta yang sedang merebahkan badannya di atas kasurku.

    Arleta memang sering mengunjungiku ke sini. Kasur itu, adalah saksi bisu ketika kami sedang bercinta karna tak mampu menahan hawa nafsu yang menggebu-gebu di antara kami. Pintu dan jendela adalah penjaga sekaligus peredam suara rintihan dan desahan Arleta yang menggila ketika kami melakukannya.

   "Iya, besok aku akan menemuinya." kataku sambil sibuk mengedit foto untuk tugas kuliah yang amat menjengkelkan.

   Arleta terlelap di kasurku. Dia sangat mengerti aku; jika aku sedang sibuk mengerjakan tugasku, aku tak ingin diganggu.


Rumah Arleta

   Tempat ini tak asing bagiku, aku sering ke sini. Gerbang pintu berwarna putih yang megah tetap setia menyapaku dengan loncengan yang tergantung di satu sisi dan dijaga oleh Pak Mail -satpam rumah Arleta- yang harus kusogok dulu jika aku ingin menemui Arleta ketika rumah ini kosong.

   Arleta telah menungguku di teras rumahnya. Aku menyapa dan mendapat sapaan balik sekaligus pelukan. Pelukan yang tetap terasa sama seperti pertama kali kami menjalani hubungan ini.

   Saat memasuki istana itu, aku sudah hapal letak-letak hiasan dinding yang menempel pada ruang tamu. Ada salib besar yang menempel pada satu sisi dinding kosong yang menandakan keluarga Arleta adalah keluarga yang taat pada agamanya. Beberapa hiasan lainnya juga ikut meramaikan dinding itu.

   Suara gesekan kecil dari sandal yang diseret pada lantai yang bertempo agak lambat mendekati ruangan ini. Sudah kutebak, itu adalah Ayahnya Arleta, duda tua yang ditinggal mati oleh istrinya karna sebuah kecelakaan mobil. Arleta telah cerita semuanya.

   Lelaki berambut dominan putih, berbadan gemuk, dan berkacamata itu duduk tepat di hadapanku, menatapku dengan tatapan yang tak wajar, seperti ingin menghipnotisku layaknya para pesulap profesional.

   "Selamat siang, Om." sapaku mencoba membuka percakapan yang kurasa seperti forum resmi ini.
   "Iya, siang." sambil tersenyum kecil dan tetap menjaga wibawanya.

   Arleta memilih posisi duduk di samping Ayahnya.

   "Namamu Bimas, kan?"
   "Dimas, Om." kurang ajar! seenaknya dia mengganti nama pemberian ibu dan bapakku.
   "Oh iya, Dimas." sambil mengelus-elus dagunya yang berjenggot tipis, "Sudah berapa lama berhubungan dengan anak saya?"
   "Kurang-lebih empat bulan, Om."
   "Oh, ya, ya..."
   "Kamu Islam?" aku tau, pertanyaan ini mungkin akan berakhir dengan membahas perbedaan agama kami.
   "Iya, saya Islam."
   "Masih kuliah, atau sudah kerja?"
   "Masih kuliah dan sedang masuk semester akhir."
   "Gini, Nak Dimas, jujur saja, saya berat untuk mengatakan ini." firasatku sudah tidak enak, "Tapi saya nggak suka kamu menjalin hubungan dengan anak saya. Kalian berbeda agama. Sebelum jauh, lebih baik kalian akhiri hubungan kalian." ucapnya agak tegas. Ucapan yang seakan-akan menjadi palu besar yang menghantam kepalaku.

   Aku terkejut dan kulihat Arleta menitikan air matanya.

   "Sekarang, kamu boleh pulang." ucap lelaki tua itu.

   Berat sekali rasanya untuk berdiri. Badanku gemetar dan sangat lemas. Kulangkahkan kaki secara bergantian untuk keluar rumah ini, diiringi bayang-bayang kenangan tentang Arleta dan Aku. 

   Bayangkan saja, ketika sepasang kekasih yang saling mencintai, dipisahkan hanya karna sebuah perbedaan. 
   Kejammmmm.

   Kusebrangi jalan raya ganda untuk mencari dan menghentikan taksi karna aku tak membawa motorku.

   Sesekali kucuri-curi pandang ke arah rumah Arleta. Kudapati dia tengah berdiri di terasnya dan berlari ke arahku dengan cepat.

   Dia berlari sekuat tenaga untuk mengejarku sebelum aku pergi meninggalkannya.

   Naas, dia menyebrangi jalan raya itu tanpa menoleh kanan-kiri. Mobil sedan yang melaju kencangpun menghantam tubuh Arleta. Aku berlari ke arahnya dan memeluknya.
   Arleta!!!!


Rumah Sakit

   Arleta mengalami pendarahan yang sangat serius. Dokter memvonis Arleta tidak dapat melihat lagi karna matanya buta akibat benturan keras di kepalanya.

   Aku panik, karna kata Dokter rumah sakit ini, stok persedian kantung darah di sini sedang kosong.

   Ayahnya yang daritadi duduk di ruang tunggu, kini berdiri, lalu berjalan menghampiriku dan berdiri persis di hadapanku yang sedang terduduk lemas.

   "Ini semua salahmu! Arleta begini karenamu!" Sebuah tamparan keras mendarat tepat pada wajahku.

   Aku hanya diam, aku ingin sekali berkata, "Salahku? Ini salah Bapak yang melarang hubungan kami!" tapi aku tak ingin menambah keruh suasana, maka aku mengalah dan diam saja.

   Aku berdiri dan menuju ruangan Dokter.

   "Dok, golongan darah saya sama dengan Arleta. Coba periksa, kalau darah saya aman, ambilah darah saya seperlunya, walau itu akan mengakhiri hidup saya dan juga pindahkan kedua bola mata saya untuk Arleta." tegasku.

   Dokter langsung melakukan pemeriksaan dan mempersiapkan ruang operasi untuk memindahkan mataku untuk Arleta.

   "Sus, tolong nanti kalau Arleta telah sadar dari masa komanya, berikan surat ini untuknya." kataku sambil memberikan sebuah amplop yang telah aku tulis beberapa saat lalu pada seorang perawat.

   Kini aku hanya berdua dengan Arleta di sebuah ruangan. kupandangi ia yang sejak tadi masih terbaring di tempatnya. Mungkin ini terakhir kalinya aku dapat menatap Arleta sebelum mataku menjadi miliknya.

   Dokter dan beberapa perawat masuk ruangan dan memecah suasana. Ia membiusku dan... Gelap... Aku terlelap.
***

   Tiga hari kemudian Arleta tersadar dari masa kritisnya. Dia membuka mata perlahan dan melihat suasana sekelilingnya.

   Di atas perutnya yang berselimut, ia mengambil sebuah amplop dariku dan membukanya.

   "Hai, Sayang! gimana keadaanmu? Jika kamu telah membuka dan membaca surat ini, maka tandanya aku juga telah pergi jauh dengan tenang. Kita memang tidak ditakdirkan untuk bersatu, namun, bukankah kita pernah menyatu?


   Perbedaanlah yang pernah menyatukan kita, perbedaan juga yang telah memisahkan kita. Salib dan Tasbih memang seharusnya tak dapat menyatu, Tapi, setidaknya kita pernah berusaha untuk menyatukannya, bukan? 


   Jangan khawatir, Sayang, sepasang mataku dan darahku telah menjadi satu di tubuhmu. Kita akan tetap menyatu selamanya.


   Aku pergi, terimakasih telah menyangiku dan mencintaiku sepenuh hatimu, Sayangku.


   Tertanda, Dimas."


   "Dimasssssssss!!!!!!!!!" teriaknya sekuat tenaga memanggil namaku.

   Isak tangis Arleta pecah bertambah kencang setelah membaca surat dariku. Isak tangisnya memenuhi ruangan itu. Ayahnya masuk lalu memeluknya, "Sabar, Nak, Dimas telah tenang di alam sana."

   Aku tersenyum dari alam yang jauh di sana, melihat Arleta dapat melihat dunia yang indah ini lagi.

   "Jangan takut, Sayang, walau kujauh, aku tetap berada dekatmu. Karna kini, darah dan mataku telah menyatu pada dirimu. Kita menyatu."


-Tamat-















Tidak ada komentar:

Posting Komentar