Senin, 31 Maret 2014

Surat untuk Mantan


Tulisan ini diikutsertakan untuk lomba #suratuntukruth novel Bernard Batubara.

Hai..
bagaimana keadaanmu sekarang? Sudah pasti aku berharap agar kau selalu terlindung dalam lindungan-Nya.

Bagaimana pacarmu yang sekarang, apakah sama bodohnya denganku?
Yang bisa-bisanya menjalin hubungan denganmu atas dasar kau hanya ingin mempermainkanku tanpa terselip rasa cinta sedikitpun.
Seandainya waktu itu aku tidak terlalu berambisi untuk memilikimu, maka tak akan seperti ini hasilnya. Memang, sesuatu yang berlebihan itu tak baik.

Apakah kau masih ingat juga, kejadian pahit ketika tepat di hari ulang tahunmu? 
Aku membawakan sebuah kue ulang tahun dengan sedikit perjuangan; menerobos hujan lebat dengan motorku tanpa mengenakan jas hujan untuk sampai di rumahmu, dan ketika itu kau sedang asik menutup kedua matamu sambil menikmati ciuman yang lelaki itu berikan untukmu. 
Lalu kau bilang itu hanya kekhilafanmu saja.

Lagi-lagi rasa sayangku padamulah yang meyakini kalau kau memang khilaf melakukannya.

Entah, aku bodoh atau memang akulah manusia yang lemah. Memaafkan segala kesalahanmu yang kau sebut itu sebuah kekhilafan.

Hei! 
Apa kau masih ingat juga? ketika aku memberanikan diri membuka handphonemu dan kudapati seorang lelaki mengirimi sebuah pesan singkat untukmu dengan kata-kata mesra?
Semua orang pasti sama denganku bila mereka berada di posisiku. Marah. Iya, aku marah denganmu ketika aku tau, kau selingkuh di belakangku.
Tapi, apa nyatanya?
Malah kau yang marah dan menamparku dengan tanganmu sambil berkata kalau aku tak sopan membuka privacy oranglain.

Hei! 
Harusnya kau meminta maaf padaku dan berkata, "Maaf, Sayang, aku khilaf" sebuah kebiasaanmu yang selalu mengatasnamakan kekhilafan.

Aku selalu mengalah ketika berdebat denganmu, selalu memberikan ruang untukmu menang. Karena, jujur saja aku sangat mencintaimu dengan ketulusan. Aku tak ingin kehilanganmu.

Sampai akhirnya, kau mengeluarkan sebuah pengakuan kalau kau tak serius denganku, kau hanya ingin mempermainkanku saja. 
Cinta? 
Sayang?
Hanya dari mimpi aku mendapatkan hal tabu itu.

Apa kau tidak rindu atas kebiasaanmu menyakitiku? Atau sekarang, malahan kau yang berada di posisiku? Karena terkutuk karma dari Tuhan yang mendengar dan menjabah doaku yang teraniaya dirimu.

Aku tuliskan semua kesalahanmu atau yang sering kau sebut kekhilafanmu itu saat bersamaku hanya untuk sekadar mengingatkanmu, bahwa hukum karma itu berlaku dan nyata.

Kau menanamnya, maka kau akan nikmati hasilnya sendiri.

Minggu, 23 Maret 2014

Pengorbanan yang Sia-Sia. [CERPEN]

   Aku melangkahkan kedua kaki ini secara bergantian menuju tempat kuda besiku terparkir di belakang sekolah. Dengan sesekali mengelap cucuran keringat yang mengalir deras di dahiku dan menjatuhkannya ke jalan aspal yang aku lalui ini.

   Matahari memang sedang berada tepat sejalur dengan kepalaku. Maklum saja, ini memang siang hari bolong. Jarak dari ruang kelas ke tempat parkir memang lumayan jauh dan sedikit melelahkan.
  
    "Hufttt, nyampe juga." kataku pelan sambil membuang napas perlahan dan menaiki motorku.
  
    Motorku ini termasuk motor berkekuatan besar, atau yang sering disebut oleh kebanyakan orang dengan sebutan, 'MOGE'. Maklum, aku sangat suka mengolahragakan jantungku dengan sesekali mengajak ngebut motor ini ketika jalanan sedang sepi.

   Tanganku langsung mengangkat helm yang kuletakkan di atas pahaku, lalu memasangkannya pada kepalaku. Namun, pandanganku tiba-tiba terfokuskan pada seorang perempuan yang tengah duduk sendirian di bangku taman yang terletak di samping area parkir ini.

    Dia yang sejak tadi kuperhatikan sedang menundukan kepala, seketika langsung melihat ke arahku seperti mengetahui jika aku sedang memperhatikannya dan melontarkan sebuah senyuman manis ke arahku. Senyuman yang dapat membuat setiap kaum Adam terpesona dan jatuh hati ketika melihatnya. Senyuman itulah yang membuatku jatuh cinta dan pernah menjalin hubungan bersamanya.
   
   TIGA BULAN LALU

   Aku membuka pintu ganda sebuah ruangan yang di dalamnya terdapat banyak jenis-jenis kue. Ya, aku sedang berada di toko kue untuk memesan sebuah kue ulang tahun untuk Cindy. Gadis pemilik senyum manis itu sedang berulang tahun hari ini.
  
    "Cindy pasti kaget nih, kan dia taunya gue lagi di luar kota. Hehehe." berbisikku sambil keluar dari toko kue itu. Lalu aku menuju parkiran untuk mengambil motor yang kutitipkan pada petugas parkir di situ dan bergegas pergi ke rumah Cindy.

   Rintik hujan turun dari gerimis menjadi deras.

   "Ah sial! Aku lupa membawa jas hujan, yasudahlah toh rumah Cindy hanya tinggal beberapa meter lagi dan kuenya aman karena dibungkus plastik." sambil membasuh muka yang terkena air hujan.

RUMAH CINDY

   Aku tiba di rumah Cindy dengan badan basah kuyup dan menggigil. 
   "Namanya juga cinta, butuh perjuangan dan pengorbanan. siapa tahu aja nanti dipeluk Cindy. hehehe." sambil mengusap-usap kedua tangan berharap menjadi hangat.

  Kubuka bungkusan plastik itu, lalu mengeluarkan kardus yang berisi kue. Kuraba-raba kantung celana untuk mengambil sebuah korek api yang biasa kugunakan untuk membakar sebatang rokok agar asapnya dapat kuhirup.

   Setelah lilin yang berbentuk angka "tujuh belas" telah kunyalakan, maka aku langsung masuk ke dalam, kebetulan pintunya tidak tertutup.

   Aku mendengar suara tv yang terdengar lumayan keras. "pasti Cindy lagi nonton tv, nih." berkataku dalam hati.

  Aku menuju ruang tv dan sentak terkejut melihat orang yang kusayangi -yang menjadi tujuanku untuk kesini- sedang duduk di pangkuan seorang lelaki dan mengalungkan tangannya di leher lelaki itu. Sambil bibir mereka mengulum satu dengan yang lainnya. Hal itu yang biasa kulakukan dengan Cindy ketika rumah ini kosong.

   Cindy yang sejak tadi memejamkan kedua matanya dan menikmati bibirnya dikulum oleh lawan mainnya, tersadar dan terkejut oleh kedatanganku. Aku tersenyum dan mengarahkannya pada mereka berdua, kue yang kubeli dengan uang jajan yang kutabung kuletakkan di atas meja, dan meninggalkan mereka berdua yang masih berpangkuan.

   "Biarkan rintik hujan mencampuri air mataku yang tak kuasa tertahan di bendung mataku. Terkadang, aku iri dengan wanita; mereka tak malu menangis di mana saja, kapan saja. Namun kami, lelaki? kami harus berusaha tetap tegar walaupun hati sangat sakit, menangis  harus mengumpat dulu." ujarku dalam hati dan menatap langit yang kelabu.

   Kini ragaku kembali terguyur oleh buliran air hujan, berharap rasa sayangku pada Cindy ikut luntur terbawa oleh air hujan.

   Sepasang tangan melingkar di pinggangku dan memelukku. Pelukannya terasa hangat, aku tahu itu Cindy.
"maafkan aku, Sayang." ujarnya. Tanpa membalas perkataannya, aku melepaskan tangannya yang melingkar dari pinggangku, menghidupkan motor lalu meninggalkannya yang sedang menangis penuh penyesalan.

   Maka itu, aku menjauh darinya sekarang; berusaha mematikan rasa memiliki menjadi rasa tak memiliki. 

***

Senin, 10 Maret 2014

[CERPEN] Natasha.

   Suara bell pulang sekolah telah  berbunyi, diikuti bubarnya para siswa dari dalam kelas, dan menandakan berakhirnya kegiatan belajar mengajar.

   Aku mengambil jaket yang aku rentangkan di bangku, dan memasangkan pada badanku. Dengan segera, aku menggeser bangku yang menimbulkan suara gesekan kecil oleh lantai yang putih, untuk aku beranjak pergi dari kelas yang telah aku jamah seharian ini menuju ke parkiran sekolah untuk mengambil motor.

   Aku meluangkan waktu untuk mengambil handphone dalam saku celana, lalu melihatnya, dan memainkannya sepanjang lorong-lorong deretan ruang kelas yang ramai akan kegaduhan para siswa, untuk menuju parkiran, serta mengecek sms masuk yang belum sempat terbaca.

   "brukkkkkkkkk!!!!" suara keras yang bersumber dari jatuhnya tumpukan buku yang dibawa oleh seorang gadis berparas cantik nan rupawan.
   
   Seketika aku melamun, dan terkesima, dengan kecantikannya. Rambut yang dicepol, kulit yang tidak terlalu putih, dan matanya yang indah, serta tarikan kedua sudut bibirnya yang membuat dia terlihat semakin manis.

   "astaga, maaf-maaf, aku enggak liat ada kamu." ujarku panik ketika tersadar aku telah menabrak gadis itu, sambil membantu dia membereskan buku yang berserakan.

    "emmhhhh..., enggak apa-apa kok, Kak."
    "makasih ya, Kak." kata gadis itu sambil melemparkan senyum manis kepadaku.
   "sini biar aku yang bawa. Mau dibawa kemana ini?" tanyaku sambil merebut tumpukan buku-buku itu.
   "ke ruang guru. Yah, enggak usah repot-repot, Kak. Aku bisa, kok." jawab gadis itu santai.
  
   "udah enggak apa-apa. Itung-itung ini sebagai permintaan maaf aku." ujarku, yang dilanjutkan iringan kaki menuju ke ruang guru.

***
   Usai dari ruang guru, aku langsung menuju ke parkiran. Sambil meluruskan kabel headset yang terbelit, aku duduk di atas motor, dan menghidupkan mesinnya terlebih dahulu agar mesinnya panas.

   Terpintas lamunan ketika teringat kejadian tadi, melamun membayangkan raut wajahnya yang berparas cantik, dan senyuman indah dari kedua sudut bibirnya. Namun, lamunanku buyar oleh teriakan seseorang yang memanggil namaku.
  
   "Dit.., Adit.., Gue nebeng, dong. Enggak ada barengan, nih." teriak Riski dari kejauhan.
  
   "Yaudah, ayo!" jawabku.
   Riski adalah sahabatku sejak kelas satu dari pertama aku bersekolah di sini.

   Headset telah terpasang pada telinga sebelah kiriku. Lalu aku siap tancap gas pulang menuju rumah bersama Riski tentunya. Tapi, ketika ingin menarik gas, dari kejauhan terlihat gadis yang tadi bertabrakan denganku.

   Dia terlihat sedang menunggu seseorang yang akan menjemputnya, dia duduk di dekat pos satpam, sambil asik memfokuskan pandangan ke layar handphone-nya. Teringat di belakangku ada seorang sahabat, aku langsung tancap gas ke jalan raya, melaluinya tanpa terlihat olehnya.

   Aku hanya mengantar Riski sampai lampu merah pertama, dan menurunkannya.

   "Ki.., sorry ya, gue hari ini cuman nganter lo sampe sini aja. Gue ada keperluan mendadak nih. Nih buat naik angkot. Hehehe." ujarku kepada Riski lalu memberikan sebagian uang untuk dia pulang, dan langsung meninggalkannya. 
   
   Terdengar teriakan kata terimakasih yang dilontarkan olehnya, tapi aku hanya mengangkat tangan kiriku sebagai tanda aku telah mendengarnya.

   Aku balik memutar arah, dan tancap gas ke arah sekolah lagi. Suara motor matic, dan kecepatannya sangat kurang bagiku untuk melewati para pengendara lainnya. Sambil berharap cemas, semoga gadis itu belum mendapat jemputan.

   Ternyata hari ini aku sedang beruntung, gadis itu masih berada di pos satpam. Segera aku mendekatinya.

   "kamu ga pulang?" tanyaku mendadak.
   "lagi nunggu dijemput mamah, Kak. Tapi mamah belum selesai dari salon." balasnya.
   "aku anterin kamu pulang, yuk." aku mencoba untuk membujuknya.
   "ga usah, kak. Aku nunggu mamah aja." jawab dia. Namun, terlihat dia berharap agar aku lebih memaksa.
   "ga baik tau kalo nolak kebaikan oranglain. Lagipula, udah mendung langitnya, daripada kamu nanti kehujanan." aku berusaha membujuknya supaya dapat mengantarnya.
    "emmmhhhh.., yaudah deh, Kak. Hehehe." ujarnya.

   Kamipun langsung jalan menuju arah rumahnya. Namun, setelah menempuh jarak dua kilometer dari sekolah, rintik hujanpun jatuh membasahi bumi ini. Aku langsung menepi ke sebuah warung bakso agar tidak kehujanan.

   "kita neduh di sini dulu ya." ucapku sambil memarkirkan motor.
  
   "duh, maaf ya, Kak. Gara-gara aku, kakak jadi ikut kehujanan." timpal dia dengan memasang muka melas.

   "ye enggak apa-apa kali. Hehe. Oh iya, nama kamu siapa?" aku bertanya, dan diikuti uluran tangan kanan ke arahnya.

   "Natasha, Kak. Panggil aja Tata. Hehe. Nama kakak siapa?" dia balik bertanya.

   "aku Adit. Oh Tata, Tata dado? Hahaha." aku sedikit meledek untuk mencairkan suasana.

   "ih bukan." jawabnya dengan mimik muka kesal.

   "eh, Ta. Kita makan bakso, yuk. Sambil nunggu hujannya reda. Kamu laper, kan?"

   Tata hanya mengangguk kecil, yang menandakan dia mau makan bakso.

   Entah, badanku terasa dingin. Bukan karna hujan. Jantungku juga terasa berdetak lebih cepat. Mungkin, apa ini yang dinamakan cinta? Cinta pada pandangan pertama tepatnya. Tapi, cinta itu muncul setelah adanya rasa sayang. Berarti sayang pada pandangan pertama.
Setelah asik mengobrol, Tata ternyata kelas sebelas ipa, dan aku kelas duabelas ips. Dua buah jurusan bidang sekolah yang sangat berlawanan arah. Tapi jurusan hati? Siapa tau searah. hehehe.

   Rintik hujan sedikit demi sedikit telah habis turun. Aku dan Tata kembali menyusuri jalanan aspal yang telah basah terlapisi air hujan. Aku sangat suka bila jalan menunggangi motor disaat setelah hujan selesai mengguyur.
Terus asik mengobrol, dan diselingi canda tawa, tak terasa bila rumah Tata sudah dekat. 
   "stop di pager putih itu, Kak." ujarnya.

   "rumah kamu di sini?" tanyaku penuh senyum.

   "iya, Kak. Kenapa emang?" Tata balik bertanya.

   "enggak kenapa-napa. Deket berarti dari rumahku. Hehehe." jawabku sambil tertawa. Tertawa karna senang ternyata rumahnya dekat dengan rumahku.

   "kakak mau mampir dulu apa enggak? Mampir dulu yuk, Kak." dia mencoba membujukku, tapi kali ini bujukannya tidak berhasil membuat hatiku luluh.

   "aku langsung pulang aja deh, Ta." jawabku.

   "oh iya, Kak. Aku boleh minta nomer handphone kakak?" pinta Tata sambil memberikan gadget-nya.

   "boleh kok, Ta. Boleh banget malah. hehehe." aku tersenyum kearahnya, sambil mengambil benda yang ada ditangan mungilnya itu. Padahal, baru saja aku ingin meminta nomernya terlebih dulu, tapi, ternyata dia yang meminta duluan.

   "nih, Ta. Udah aku save. Yaudah aku pulang dulu ya, Ta." akupun mulai menarik gas di motorku, lalu perlahan menjauh dari Tata.
***
   Sebuah getaran dari handphone-ku yang menandakan adanya sebuah pesan singkat. Dari Tata ternyata.

   "makasih ya, Kak, aku udah dianter pulang. Maaf ngerepotin. Hehehe." isi pesan singkat yang dikirim oleh Tata kepadaku ketika aku terbaring di tempat tidur.

   "iya, sama-sama, Ta. Aku seneng kok nganterin kamu. Hehehe.?" jariku menari-nari mengetik balasan sms untuk dikirim ke Tata.
Sore itu kami saling mengirim, dan membalas pesan singkat. Mulai canda tawa, sifat kita, keseharian kita, sampai menyerempet sedikit tentang hati.

***
   Malam ini, jalanan sudah dipenuhi oleh ribuan kendaraan. Suara bisingnya knalpot, suara klakson yang saling bersautan, mereka saling beradu di malam minggu ini.
Malam ini aku ingin menjemput Tata yang sudah siap di rumahnya. Dengan mengendarai mobil putih milik ayahku, aku meluncur ke rumah sang kekasih. Iya, aku dan Tata sudah menjadi kekasih sejak 5 bulan lalu.

   Sekitar limabelas menit, aku sampai di rumah Tata, dan langsung masuk ke rumahnya.

   "assallammualaikum." aku mengucapkan salam kepada keluarga Tata. 

   "waalaikumsalam. Eh nak, Adit. Sini duduk dulu." ujar seorang perempuan yang aku perkirakan berumur duakali lipat dari umurku. Mungkin sekitar hampir empatpuluh tahunan. Dia adalah mamahnya Tata, dan di sampingnya ada ayahnya Tata.

   "apakabar, Tante?, Om?" aku berbasa-basi, lalu mencium kedua tangan mereka.
 
   "baik kok, Dit." ujar pasangan suami istri itu.

   "hay, Sayang." sapaan pertama dari Tata di malam minggu ini yang membuat aku menoleh ke arahnya. Sungguh aku terkejut melihat Tata. Malam ini, dia tak terlihat cantik, tapi, amat sangat cantik.

   "hay, yang. Udah siap?" tanyaku pada Tata.

   "udah, yuk jalan." perintah Tata yang diselingin senyuman khasnya.

   Setelah ijin dengan kedua orangtuanya, kamipun langsung menuju ke rumah temanku yang berulang tahun hari ini.

   Sepanjang jalan aku merasa sangat nyaman dengan Tata. Entah kenapa, malam ini sangat nyaman dengannya bila dibandingkan dengan malam-malam lainnya.

   Sampailah kami di tempat tujuan. Aku memperkenalkan Tata kepada teman-temanku. Kami mengobrol bersama, bercanda bersama, tanpa pernah kulepas genggamanku dari tangan Tata. Kami berdua tau, kami sangat saling menyayangi satu sama lain.

   Selesai acara, kami pulang ke rumah dengan diiringi rintikan air hujan. Tata tertidur pulas di jok samping aku menyetir. Aku menatap Tata dari samping. Aku dapat melihat dengan jelas, bagaimana kecantikan wajah Tata bila dilihat dari sudut samping. Aku sangat beruntung, memiliki kekasih yang cantik, baik, dan ramah kesemua orang seperti Tata. Aku kembali berfikir, dan tetap menatap Tata, "bagaimana bila aku telah tiada disisinya lagi? Bagaimana bila pundakku tidak bisa menjadi tempat bersandar Tata ketika sedih?" Tanpa sadar telah menatap Tata dengan lama, aku lupa bila sedang menyetir, aku memfokuskan kembali pandangan ke depan, tapi mobil ini membanting stir dengan sendirinya ke arah kanan. Tata yang kaget karna hentakan rem yang aku injak sangat cepat, dan mendadak, membuatnya terbangun.

   "Dit, awas, Dit!!!!" Tata berteriak memberi tau aku, kalau kita akan menghantam pembatas jalan tol itu.

   Kami menghantam pembatas jalan tol, tetapi untungnya Tata tidak mengalami luka serius. Seketika itu pandanganku menjadi hitam gelap. Aku tak sadarkan diri.

***
   Kepalaku terasa amat sangat sakit, kakiku tak bisa digerakan, hanya tanganku yang dapat bergerak. Aku memakai baju pasien, bernafas menggunakan tabung oksigen. Apa yang terjadi padaku? Sambil terus berfikir, aku melihat orang yang sangat aku sayangi, Tata. Dia sedang tertidur di atas perutku, sambil tangannya melingkar memelukku.

   "Ta.., Ta..," aku memanggil lemas, sambil membelai rambut hitamnya yang sangat indah.

   "sayang! Kamu udah sadar?" dia terbangun dari tidurnya, matanya terlihat bengkak, akibat terus begadang dan menangisiku.

   "Dokter! Dokter!" Tata berteriak ke arah keluar, dan teriakannya mengundang beberapa orang masuk ke ruangan ini.

   Aku melihat ada orangtuaku, orangtua Tata, dan teman-temanku.
 
   Aku menyuruh yang lain keluar ruangan setelah beberapa saat. Kecuali orangtuaku.
  
   "Mah, Yah, maafin Adit ya, kalo selama hidup selalu nyusahin Mamah, dan Ayah." aku melontarkan kepada mereka, dan membuat mereka menangis.

   Hal yang sama aku lakukan kesemuanya yang bergantian masuk ke ruanganku.

   Sekarang, aku hanya berdua dengan Tata. Tata menjelaskan bahwa aku koma selama seminggu.

   "Sayang, bila nanti aku sudah tidak bisa menemanimu disetiap hari-harimu, maafkan aku ya. Aku sangat sayang, dan cinta padamu. Terimakasih telah melukiskan warna dalam hidupku, dengan cintamu." aku berkata pada Tata. Dia hanya bisa mengeluarkan air matanya, sambil memegang erat tanganku. Mungkin dia sudah tau, kalau aku sudah akan pergi selamanya.

   Semua orang masuk ke ruanganku, dan melihatku sambil menetaskan air mata. Aku hanya tersenyum pada mereka, dan mengucapkan kata terakhir. "terimakasih semuanya." lalu mata terpejam dengan tenang, namun, tangisan mereka terpecah ketika mataku telah tertutup untuk selamanya.
 ***

*10 tahun kemudian.*

   "sayang, besok kita ke makam Adit, ya." tampak Tata yang sedang memeluk anak, dan suaminya itu.

   "iya, sayang. Kita udah lama engga ke makam Adit." jelas suami Tata, yang sudah Tata ceritakan kepadanya tentang diriku.

   Kini aku dapat dengan tenang meninggalkan dunia yang indah ini. Tata sudah mendapat pengganti diriku, yang lebih baik dariku, kini aku telah tenang, tenang disisi-Nya kini...

***

[CERPEN] Kekasihnya Seorang Bajingan.

   Kamar. Ruangan mungil ini mungkin menjadi saksi bisu kisah hidupku. Dia dapat melihat, mendengar, dan merasakan suka duka perjalanan hidupku. Dia kujadikan tempat mengumpat ketika sepasang mataku tak dapat lagi menahan bulir-bulir air mata yang ingin menetes membasahi semesta ini.

   Aku sering terduduk di jendela kamar ini, memandangi jutaan bintang yang bersinar terang, dan menghiasi jagat raya. Sambil menenggak secangkir kopi panas, dan melantunkan lagu-lagu yang kusuka. Diiringi suara gitar yang mempersilahkan jari-jemariku menjamah keenam senarnya. Seperti yang sedang kulakukan saat ini. Tapi, nampaknya malam ini langit sedang ingin bergalau bersamaku. Itu terbukti dengan munculnya langit mendung yang menampung rintikan hujan, dan siap menghempaskan mereka ke semesta ini.

   Saat kumulai bernyanyi dengan sepenuh hati, dan membayangkan seorang perempuan yang memaksa otakku untuk terus memikirkannya. Tetesan air hujan mulai turun perlahan, dan semakin lama semakin deras. Langit seraya mewalikan perasaanku malam ini.

   Dari kejauhan, nampak seseorang yang ingin bertamu ke rumah ini. Dengan menggunakan payung yang melindungi tubuhnya dari derasnya rintik hujan, orang itu turun dari sebuah taksi dan berjalan melewati derasnya hujan.

   Aku sentak menaruh gitar di atas tempat tidurku, lalu keluar menuju lantai bawah. Sebab, malam ini hanya aku yang tetap di rumah dikala keluargaku sibuk dengan urusan pribadinya masing-masing di luar sana.

    "tok, tok, tok..." terdengar suara ketukan pintu yang cukup keras.
    "iya, sebentar." aku menjawab, menandakan ada orang di dalamnya.

  Kubuka pintu ganda tersebut, dan seketika jantungku berdetak cepat. Aku terkejut karna orang yang berada di balik pintu itu adalah Melinda. Ia merupakan teman sekolahku, namun berbeda kelas. Tanpa ia sadari, aku sangat mencintainya, namun apadaya, dia sudah menjadi kekasih oranglain.

    "nyari Andre, Mel?" tanyaku membuka obrolan.
    "iya, Val. Andrenya ada?"
    "tadi Andre keluar, Mel, tapi engga bilang mau kemana." aku menjawab pertanyaan Melinda yang menanyakan Andre, kakakku dan sebagai kekasihnya. Aku sedikit berdusta menjawab pertanyaan yang dilontarkannya. Aku tahu, kakakku tadi membawa selingkuhannya, lalu pergi lagi entah kemana. Aku sangat iba pada Melinda, ia sangat mencintai kakakku dengan sepenuh hati, namun, kakakku mencintainya hanya setengah hatinya.

   "ohiya, masuk, Mel, di luar dingin tau." perintahku pada Melinda, sambil berandai-andai, "jika aku kekasihmu, aku akan langsung memelukmu, dan berusaha membuatmu menjadi hangat." karna aku tak tega melihat Melinda kedinginan seperti itu.

  Kakiku langsung menyusuri barisan lantai yang tersusun rapih, lalu menuju dapur untuk membuatkan susu hangat. Aku sangat paham, Melinda sangat gemar dengan minuman yang satu ini. Tak sia-sia aku menjadi stalker twitter Melinda selama ini.

   Aku kembali ke ruang tamu, dimana ada seorang gadis cantik, berkulit putih, berambut hitam terurai, dan baik hati, sedang menekuk muka karna kecewa orang yang ia sayangi tidak ditemuinya malam ini.

   "nih minum dulu, biar hangat." sambil tanganku yang menggenggam segelas susu hangat menjulur ke arahnya.
   "makasih ya, Val." jawab Melinda dan tersenyum kecil. Senyuman yang membuatku merasa bersalah, karna telah membiarkan ia menjadi kekasih bajingan seperti kakakku itu.

  Pandanganku sengaja kuarahkan ke layar handphoneku, dengan sesekali mencoba mencuri-curi pandang ke arahnya.

  Satu jam kami saling terdiam, hanya sepatah dua kata yang terucap dari mulut kami. Suasana bertambah dingin, ketika hembusan angin malam yang masuk melalui celah pintu yang sengaja kubuka.

   Aku berinisiatif untuk mengambil jaket di kamarku untuknya. Kakiku kuarahkan menaiki anak tangga untuk sampai di kamar.

  Setibanya di ruang tamu, aku terkejut ketika Andre dan Melinda saling menempelkan bibirnya. Mereka saling melumut bibir pasangannya masing-masing, dan terdengar jelas suaranya. Entah kapan Andre tiba di rumah ini. Yang jelas, hatiku sangat hancur, tak terbentuk lagi, melihat langsung orang yang kusayangi hanya menjadi pemuas nafsu bejadnya Andre. Aku sangat yakin, Andre melakukannya dengan dilandasi rasa nafsu, bukan dengan cinta. Tapi Melinda?, Dia melakukannya dengan penuh rasa cinta kepada Andre. "Sayang sekali, kau memilih orang yang salah, Mel. Aku cukup penakut untuk membongkar ini semua. Tapi, aku berjanji, aku akan membongkar semua ini suatu saat nanti." kataku yang terdengar hanya di dalam hati.
***