Suara bell pulang sekolah telah berbunyi, diikuti bubarnya para
siswa dari dalam kelas, dan menandakan berakhirnya kegiatan belajar
mengajar.
Aku mengambil jaket yang aku rentangkan di bangku, dan memasangkan
pada badanku. Dengan segera, aku menggeser bangku yang menimbulkan suara
gesekan kecil oleh lantai yang putih, untuk aku beranjak pergi dari
kelas yang telah aku jamah seharian ini menuju ke parkiran sekolah untuk
mengambil motor.
Aku meluangkan waktu untuk mengambil handphone dalam saku celana,
lalu melihatnya, dan memainkannya sepanjang lorong-lorong deretan ruang
kelas yang ramai akan kegaduhan para siswa, untuk menuju parkiran, serta
mengecek sms masuk yang belum sempat terbaca.
"brukkkkkkkkk!!!!" suara keras yang bersumber dari jatuhnya tumpukan
buku yang dibawa oleh seorang gadis berparas cantik nan rupawan.
Seketika aku melamun, dan terkesima, dengan kecantikannya. Rambut
yang dicepol, kulit yang tidak terlalu putih, dan matanya yang indah,
serta tarikan kedua sudut bibirnya yang membuat dia terlihat semakin
manis.
"astaga, maaf-maaf, aku enggak liat ada kamu." ujarku panik ketika
tersadar aku telah menabrak gadis itu, sambil membantu dia membereskan
buku yang berserakan.
"emmhhhh..., enggak apa-apa kok, Kak."
"makasih ya, Kak." kata gadis itu sambil melemparkan senyum manis kepadaku.
"sini biar aku yang bawa. Mau dibawa kemana ini?" tanyaku sambil merebut tumpukan buku-buku itu.
"ke ruang guru. Yah, enggak usah repot-repot, Kak. Aku bisa, kok." jawab gadis itu santai.
"udah enggak apa-apa. Itung-itung ini sebagai permintaan maaf aku."
ujarku, yang dilanjutkan iringan kaki menuju ke ruang guru.
***
Usai dari ruang guru, aku langsung menuju ke parkiran. Sambil
meluruskan kabel headset yang terbelit, aku duduk di atas motor, dan
menghidupkan mesinnya terlebih dahulu agar mesinnya panas.
Terpintas lamunan ketika teringat kejadian tadi, melamun membayangkan
raut wajahnya yang berparas cantik, dan senyuman indah dari kedua sudut
bibirnya. Namun, lamunanku buyar oleh teriakan seseorang yang memanggil
namaku.
"Dit.., Adit.., Gue nebeng, dong. Enggak ada barengan, nih." teriak Riski dari kejauhan.
"Yaudah, ayo!" jawabku.
Riski adalah sahabatku sejak kelas satu dari pertama aku bersekolah di sini.
Headset telah terpasang pada telinga sebelah kiriku. Lalu aku siap
tancap gas pulang menuju rumah bersama Riski tentunya. Tapi, ketika
ingin menarik gas, dari kejauhan terlihat gadis yang tadi bertabrakan
denganku.
Dia terlihat sedang menunggu seseorang yang akan menjemputnya, dia
duduk di dekat pos satpam, sambil asik memfokuskan pandangan ke layar
handphone-nya. Teringat di belakangku ada seorang sahabat, aku langsung
tancap gas ke jalan raya, melaluinya tanpa terlihat olehnya.
Aku hanya mengantar Riski sampai lampu merah pertama, dan menurunkannya.
"Ki.., sorry ya, gue hari ini cuman nganter lo sampe sini aja. Gue
ada keperluan mendadak nih. Nih buat naik angkot. Hehehe." ujarku
kepada Riski lalu memberikan sebagian uang untuk dia pulang, dan
langsung meninggalkannya.
Terdengar teriakan kata terimakasih yang
dilontarkan olehnya, tapi aku hanya mengangkat tangan kiriku sebagai
tanda aku telah mendengarnya.
Aku balik memutar arah, dan tancap gas ke arah sekolah lagi. Suara
motor matic, dan kecepatannya sangat kurang bagiku untuk melewati para
pengendara lainnya. Sambil berharap cemas, semoga gadis itu belum
mendapat jemputan.
Ternyata hari ini aku sedang beruntung, gadis itu masih berada di pos satpam. Segera aku mendekatinya.
"kamu ga pulang?" tanyaku mendadak.
"lagi nunggu dijemput mamah, Kak. Tapi mamah belum selesai dari salon." balasnya.
"aku anterin kamu pulang, yuk." aku mencoba untuk membujuknya.
"ga usah, kak. Aku nunggu mamah aja." jawab dia. Namun, terlihat dia berharap agar aku lebih memaksa.
"ga baik tau kalo nolak kebaikan oranglain. Lagipula, udah mendung
langitnya, daripada kamu nanti kehujanan." aku berusaha membujuknya
supaya dapat mengantarnya.
"emmmhhhh.., yaudah deh, Kak. Hehehe." ujarnya.
Kamipun langsung jalan menuju arah rumahnya. Namun, setelah menempuh
jarak dua kilometer dari sekolah, rintik hujanpun jatuh membasahi bumi
ini. Aku langsung menepi ke sebuah warung bakso agar tidak kehujanan.
"kita neduh di sini dulu ya." ucapku sambil memarkirkan motor.
"duh, maaf ya, Kak. Gara-gara aku, kakak jadi ikut kehujanan." timpal dia dengan memasang muka melas.
"ye enggak apa-apa kali. Hehe. Oh iya, nama kamu siapa?" aku bertanya, dan diikuti uluran tangan kanan ke arahnya.
"Natasha, Kak. Panggil aja Tata. Hehe. Nama kakak siapa?" dia balik bertanya.
"aku Adit. Oh Tata, Tata dado? Hahaha." aku sedikit meledek untuk mencairkan suasana.
"ih bukan." jawabnya dengan mimik muka kesal.
"eh, Ta. Kita makan bakso, yuk. Sambil nunggu hujannya reda. Kamu laper, kan?"
Tata hanya mengangguk kecil, yang menandakan dia mau makan bakso.
Entah, badanku terasa dingin. Bukan karna hujan. Jantungku juga
terasa berdetak lebih cepat. Mungkin, apa ini yang dinamakan cinta?
Cinta pada pandangan pertama tepatnya. Tapi, cinta itu muncul setelah
adanya rasa sayang. Berarti sayang pada pandangan pertama.
Setelah asik mengobrol, Tata ternyata kelas sebelas ipa, dan aku
kelas duabelas ips. Dua buah jurusan bidang sekolah yang sangat
berlawanan arah. Tapi jurusan hati? Siapa tau searah. hehehe.
Rintik hujan sedikit demi sedikit telah habis turun. Aku dan Tata
kembali menyusuri jalanan aspal yang telah basah terlapisi air hujan.
Aku sangat suka bila jalan menunggangi motor disaat setelah hujan
selesai mengguyur.
Terus asik mengobrol, dan diselingi canda tawa, tak terasa bila rumah
Tata sudah dekat.
"stop di pager putih itu, Kak." ujarnya.
"rumah kamu di sini?" tanyaku penuh senyum.
"iya, Kak. Kenapa emang?" Tata balik bertanya.
"enggak kenapa-napa. Deket berarti dari rumahku. Hehehe." jawabku
sambil tertawa. Tertawa karna senang ternyata rumahnya dekat dengan
rumahku.
"kakak mau mampir dulu apa enggak? Mampir dulu yuk, Kak." dia
mencoba membujukku, tapi kali ini bujukannya tidak berhasil membuat
hatiku luluh.
"aku langsung pulang aja deh, Ta." jawabku.
"oh iya, Kak. Aku boleh minta nomer handphone kakak?" pinta Tata sambil memberikan gadget-nya.
"boleh kok, Ta. Boleh banget malah. hehehe." aku tersenyum
kearahnya, sambil mengambil benda yang ada ditangan mungilnya itu.
Padahal, baru saja aku ingin meminta nomernya terlebih dulu, tapi,
ternyata dia yang meminta duluan.
"nih, Ta. Udah aku save. Yaudah aku pulang dulu ya, Ta." akupun mulai menarik gas di motorku, lalu perlahan menjauh dari Tata.
***
Sebuah getaran dari handphone-ku yang menandakan adanya sebuah pesan singkat. Dari Tata ternyata.
"makasih ya, Kak, aku udah dianter pulang. Maaf ngerepotin. Hehehe."
isi pesan singkat yang dikirim oleh Tata kepadaku ketika aku terbaring
di tempat tidur.
"iya, sama-sama, Ta. Aku seneng kok nganterin kamu. Hehehe.?" jariku menari-nari mengetik balasan sms untuk dikirim ke Tata.
Sore itu kami saling mengirim, dan membalas pesan singkat. Mulai
canda tawa, sifat kita, keseharian kita, sampai menyerempet sedikit
tentang hati.
***
Malam ini, jalanan sudah dipenuhi oleh ribuan kendaraan. Suara
bisingnya knalpot, suara klakson yang saling bersautan, mereka saling
beradu di malam minggu ini.
Malam ini aku ingin menjemput Tata yang sudah siap di rumahnya. Dengan
mengendarai mobil putih milik ayahku, aku meluncur ke rumah sang
kekasih. Iya, aku dan Tata sudah menjadi kekasih sejak 5 bulan lalu.
Sekitar limabelas menit, aku sampai di rumah Tata, dan langsung masuk ke rumahnya.
"assallammualaikum." aku mengucapkan salam kepada keluarga Tata.
"waalaikumsalam. Eh nak, Adit. Sini duduk dulu." ujar seorang perempuan
yang aku perkirakan berumur duakali lipat dari umurku. Mungkin sekitar
hampir empatpuluh tahunan. Dia adalah mamahnya Tata, dan di sampingnya
ada ayahnya Tata.
"apakabar, Tante?, Om?" aku berbasa-basi, lalu mencium kedua tangan mereka.
"baik kok, Dit." ujar pasangan suami istri itu.
"hay, Sayang." sapaan pertama dari Tata di malam minggu ini yang
membuat aku menoleh ke arahnya. Sungguh aku terkejut melihat Tata. Malam
ini, dia tak terlihat cantik, tapi, amat sangat cantik.
"hay, yang. Udah siap?" tanyaku pada Tata.
"udah, yuk jalan." perintah Tata yang diselingin senyuman khasnya.
Setelah ijin dengan kedua orangtuanya, kamipun langsung menuju ke rumah temanku yang berulang tahun hari ini.
Sepanjang jalan aku merasa sangat nyaman dengan Tata. Entah kenapa,
malam ini sangat nyaman dengannya bila dibandingkan dengan malam-malam
lainnya.
Sampailah kami di tempat tujuan. Aku memperkenalkan Tata kepada
teman-temanku. Kami mengobrol bersama, bercanda bersama, tanpa pernah
kulepas genggamanku dari tangan Tata. Kami berdua tau, kami sangat
saling menyayangi satu sama lain.
Selesai acara, kami pulang ke rumah dengan diiringi rintikan air
hujan. Tata tertidur pulas di jok samping aku menyetir. Aku menatap Tata
dari samping. Aku dapat melihat dengan jelas, bagaimana kecantikan wajah Tata bila
dilihat dari sudut samping. Aku sangat beruntung, memiliki kekasih yang
cantik, baik, dan ramah kesemua orang seperti Tata. Aku kembali
berfikir, dan tetap menatap Tata, "bagaimana bila aku telah tiada
disisinya lagi? Bagaimana bila pundakku tidak bisa menjadi tempat
bersandar Tata ketika sedih?" Tanpa sadar telah menatap Tata dengan
lama, aku lupa bila sedang menyetir, aku memfokuskan kembali pandangan
ke depan, tapi mobil ini membanting stir dengan sendirinya ke arah
kanan. Tata yang kaget karna hentakan rem yang aku injak sangat cepat,
dan mendadak, membuatnya terbangun.
"Dit, awas, Dit!!!!" Tata berteriak memberi tau aku, kalau kita akan menghantam pembatas jalan tol itu.
Kami menghantam pembatas jalan tol, tetapi untungnya Tata tidak
mengalami luka serius. Seketika itu pandanganku menjadi hitam gelap. Aku
tak sadarkan diri.
***
Kepalaku terasa amat sangat sakit, kakiku tak bisa digerakan, hanya
tanganku yang dapat bergerak. Aku memakai baju pasien, bernafas
menggunakan tabung oksigen. Apa yang terjadi padaku? Sambil terus
berfikir, aku melihat orang yang sangat aku sayangi, Tata. Dia sedang
tertidur di atas perutku, sambil tangannya melingkar memelukku.
"Ta.., Ta..," aku memanggil lemas, sambil membelai rambut hitamnya yang sangat indah.
"sayang! Kamu udah sadar?" dia terbangun dari tidurnya, matanya terlihat bengkak, akibat terus begadang dan menangisiku.
"Dokter! Dokter!" Tata berteriak ke arah keluar, dan teriakannya mengundang beberapa orang masuk ke ruangan ini.
Aku melihat ada orangtuaku, orangtua Tata, dan teman-temanku.
Aku menyuruh yang lain keluar ruangan setelah beberapa saat. Kecuali orangtuaku.
"Mah, Yah, maafin Adit ya, kalo selama hidup selalu nyusahin Mamah,
dan Ayah." aku melontarkan kepada mereka, dan membuat mereka menangis.
Hal yang sama aku lakukan kesemuanya yang bergantian masuk ke ruanganku.
Sekarang, aku hanya berdua dengan Tata. Tata menjelaskan bahwa aku koma selama seminggu.
"Sayang, bila nanti aku sudah tidak bisa menemanimu disetiap
hari-harimu, maafkan aku ya. Aku sangat sayang, dan cinta padamu.
Terimakasih telah melukiskan warna dalam hidupku, dengan cintamu." aku
berkata pada Tata. Dia hanya bisa mengeluarkan air matanya, sambil
memegang erat tanganku. Mungkin dia sudah tau, kalau aku sudah akan
pergi selamanya.
Semua orang masuk ke ruanganku, dan melihatku sambil menetaskan air
mata. Aku hanya tersenyum pada mereka, dan mengucapkan kata terakhir.
"terimakasih semuanya." lalu mata terpejam dengan tenang, namun,
tangisan mereka terpecah ketika mataku telah tertutup untuk selamanya.
***
*10 tahun kemudian.*
"sayang, besok kita ke makam Adit, ya." tampak Tata yang sedang memeluk anak, dan suaminya itu.
"iya, sayang. Kita udah lama engga ke makam Adit." jelas suami Tata, yang sudah Tata ceritakan kepadanya tentang diriku.
Kini aku dapat dengan tenang meninggalkan dunia yang indah ini. Tata
sudah mendapat pengganti diriku, yang lebih baik dariku, kini aku telah
tenang, tenang disisi-Nya kini...
***