Sabtu, 22 Februari 2014

Kawin Gantung. [CERPEN]

Cahaya langit senja di pantai itu sebagai penanda berakhirnya satu hari yang sangat menyenangkan bagi Sakina dan Rio. Mereka melewati satu hari ini dengan penuh kebersamaan, cinta, dan juga tawa. Sejak pagi hari, pukul 07:15, Rio sudah siap menunggu Sakina di sebuah gubuk dengan sepeda tuanya yang sudah berkarat di setiap bagiannya. Lalu mereka mengunjungi tempat-tempat yang pernah menjadi saksi bisu kisah cinta mereka.

Rio dan Sakina adalah sepasang kekasih yang mungkin dapat dikatakan hampir sempurna. Rio memiliki postur tubuh yang ideal, berparas tampan, dan memiliki senyuman yang dapat membuat Sakina rindu bila tidak berjumpa. Serupa dengan Rio, Sakina adalah gadis yang amat sangat cantik, berpostur tubuh ideal, dan memiliki rambut yang sangat indah.

Mereka telah menjalin hubungan asmara selama hampir 2 tahun. Mereka saling mencintai satu sama lain. Namun, cinta mereka terhalang oleh orang tua Sakina yang menentang hubungan mereka.
Kedua orang tua Sakina, tidak merestui hubungan antara Sakina dan Rio. Mereka tidak ingin memiliki menantu yang miskin seperti Rio.

Rio merupakan anak dari seorang petani miskin. Ibu bapaknya hanya menjadi petani cabai, sawah yang menjadi sumber penghasilan merekapun milik oranglain.

"maafkan aku, Sakina, aku hanya bisa mengajakmu keliling kampung ini, dan dengan mengendarai sepeda butut itu." ujar Rio. "kenapa kau meminta maaf? Aku sangat senang hari ini, aku bahagia walaupun hanya berkeliling di kampung ini. Karna denganmu, apapun yang terlihat kecil, bisa menjadi sesuatu hal yang besar dan terkenang." jawab Sakina, yang langsung memeluk erat Rio yang duduk di sampingnya.

Mereka menghabiskan sore hari itu dengan duduk di pasir putih, dan menatap ke arah matahari yang mulai terbenam secara perlahan.

Ketika Sakina tiba di rumah, ia langsung diterpa dengan serangan pertanyaan dari sang ayah. "Dari mana saja kau, Sakina? Pergi dengan pemuda miskin itu lagi? Hah?!" dengan nada yang tinggi, ayahnya mengajukan pertanyaan pada Sakina. "tidak, ayah, aku habis dari kota sejak pagi tadi." jawab Sakina sedikit berbohong. "jangan berbohong! Ayah mempunyai anak buah yang terus-menerus mengawasi kalian hari ini. Sudah ayah bilang, jangan berhubungan lagi dengan Rio! Kita keluarga terpandang, kita kaya raya, tidak sama seperti keluarga Rio yang miskin dan hina itu!" ujar sang ayah yang semakin marah.

Sakina menetaskan air mata secara perlahan, lalu menjadi semakin deras, dia merasakan tekanan batin saat ayahnya menghina keluarga Rio, keluarga yang ia cintai juga.

Sakina langsung lari menuju kamarnya dan mengunci pintunya rapat-rapat.

Keesokan harinya, Sakina menemui Rio di sawah, tempat Rio membantu ibu dan bapaknya memetik cabai yang telah siap panen dan akan dijual.

Di bawah pohon yang rindang, Sakina mengatakan apa yang terjadi semalam kepadanya dirinya. "Rio, semalam ayah mengejek keluargamu lagi. Aku tidak kuasa bila mendengar ayah memaki-maki keluargamu." kata Sakina sambil menangis kecil. "sayang, memang kenyataan kalau keluargaku miskin. Jadi, kamu tidak perlu menangis." jawab Rio yang sedang membelai rambut Sakina.

"tapi ayah sudah keterlaluan, Rio." ujar Sakina. "baiklah, aku akan ke rumahmu sekarang, untuk bertemu dengan ayahmu, Sakina." tegas Rio.

Rio dan Sakina menuju ke rumah untuk bertemu dengan ayah Sakina.
"assallammualaikum, Pak." salam Rio kepada ayah Sakina. "mau apa kau kemari? Mau meminta restu?" tanya ayah Sakina. "saya ke sini untuk meyakinkan bapak, kalau saya benar-benar mencintai anak bapak, dan saya akan menikahinya." jawab Rio. "menikahi Sakina? Kamu gila? Sakina telah saya jodohkan dengan pemuda kota yang kaya raya, tidak seperti kamu yang hanya anak petani miskin!" kata ayah Sakina. "walaupun saya miskin, tapi saya sangat mencintai Sakina, Pak! Kami saling mencintai." Rio berkata dengan raut wajah memelas. "tidak! Saya bilang tidak!" bentak ayah Sakina dan langsung mendorong Rio sampai ia terjatuh. Sakina membantu Rio berdiri, namun diseretlah Sakina oleh ayahnya masuk ke dalam rumah.

Sakina menangis keras saat tangannya terlepas dari genggaman Rio. Begitupun Rio, dia telah sangat sakit hati kepada ayahnya Sakina.

Siang hari ketika Rio dan Sakina duduk di bawah pohon rindang, tempat yang biasa mereka gunakan untuk mengobrol dan bersantai.

"jadi, bagaimana dengan hubungan kita, Rio?" tanya Sakina. "aku ingin bertanya padamu, Sakina. Apakah kau sangat menyayangiku?" Rio bertanya balik. "jelas aku menyangimu, Sayang!" jawab Sakina tenang. "mungkin, di dunia ini kita ditakdirkan untuk tidak menyatu, cinta kita tidak direstui. Tapi, mungkin kita akan dipersatukan di akhirat nanti." kata Rio.

"apakau ingin tetap memelukku sampai waktunya tiba?" tanya Rio. "aku akan selalu setia memelukmu, sampai waktu itu tiba." jawab Sakina. "baiklah, kita akan tetap saling memeluk sampai waktu itu tiba." Rio berkata dan langsung berjalan ke arah sawah untuk mengambil tali tambang, lalu tali tambang itu diikatkan pada pohon rindang itu secara kuat.

Keesokan harinya, ayah dan ibu Sakina terlihat sangat panik, karna Sakina dari semalam tidak pulang ke rumah. Ayahnya sudah sangat kesal kepada Rio, karna dia beranggapan bahwa Rio telah membawanya pergi. Saat itu juga, ayahnya mendapat telepon dari anak buahnya, dan dia disuruh datang ke ladang persawahan. Ayah dan ibu Sakina langsung menuju ke ladang persawahan menaiki mobil hitam kinclongnya itu. Dari kejauhan, mereka melihat banyak orang-orang berkerumunan. Pasangan suami-istri itu lantas turun dari mobil dan menuju ke arah keramaian itu. Saat melewati kerumunan orang-orang itu, ibunda Sakina menjerit dan menangis karna melihat putrinya telah menjadi mayat yang menggantung dan memeluk erat tubuh Rio. Ayahnya juga menangis histeris. Menyesal telah tidak memberikan restu pada Rio dan Sakina, sehingga mereka berdua memutuskan untuk nekat pergi. Pergi untuk selama-lamanya.

Jumat, 21 Februari 2014

Sebab Dia Cinta.

Bulan dan bintang menjadi saksi,
Kala itu kau menatap mata ini,
Lalu ucapan itu terlontar dari dalam mulutmu,
dan tersirat di dalam hati.

Melayang tanpa sayap,
kita saling menatap,
hati kecilpun ikut berharap,
semoga kita menyatu dalam sekejap.

Perasaan itu hidup,
ia yang mengutus angin menggerakan daun,
memperbudak awan meneteskan rintik hujan,
dan menyuruh ombak menyapu pasir putih.

Sayangnya,
kini ia telah tiada,
ia berwasiat agar tetap terjaga di dalam hatimu,
walau tak tampak,
namun tetap terasa,
Sebab ia cinta.

Surat Tak Bertuan.

Masih ingatkah engkau, tempat dimana kita saling menyatukan hati yang ingin bersatu ?

Masih adakah kerinduanmu yang tertinggal padaku dan sangat menyiksa batinmu ?

Apa kau ingat, betapa hangatnya peluk dan kecup dariku untukmu ?

Masih terkenangkah semua itu ?

Biar kutebak...

Mungkin saat ini, semua itu masih jelas terkenang olehmu. Tapi, aku bisa menerka-nerka, jika kamu kesal dengan semua itu dan ingin melupakannya.

Bukankah seperti itu ?

Jika kau ingin melupakannya, lupakanlah.

Jika kau kesal dan ingin membunuhku, lakukanlah.

Sesungguhnya kita memang sangat berbeda; Kau ingin melupakan, tapi aku tidak. Kau sangat membenci diriku, namun, bagaimanakah dengan diriku yang tetap mencintaimu sampai saat ini ?

Memang! Memang aku bodoh dan terlalu lemah.

Inilah suratku untukmu. Jika kau bahagia, akupun ikut bahagia.